Welcome To My Blog. Arigatou

Sabtu, 11 Juni 2016

Hukum Perburuhan

HUKUM PERBURUHAN INDONESIA

1. Pengertian hukum perburuhan/ketenagakerjaan

Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah bagian dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan maupun kolektif. Secara tradisional, hokum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan pengusaha/majikan). Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti pengaturan hukum atau kesepakatan kerja, hak dan kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan, penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan kerja dalam lingkungan kerja, non-diskriminasi, kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.
Dalam kepustakaan internasional, galibnya kajian Hukum Perburuhan terbagi ke dalam tiga bagian:
a. Hukum Hubungan Kerja Individual (Individual Employment Law);       
b. Hukum Perburuhan Kolektif (Collective Labour Law);
c. Hukum Jaminan Sosial (Social Security Law), sejauh terkait dengan pokok-pokok bahasan di atas.
Di dalam kepustakaan Indonesia, secara tradisional Hukum Perburuhan dibagi ke dalam lima bagian, yaitu dengan mengikuti pandangan Profesor Iman Soepomo. Kendati demikian, sejak awal abad ke-21, perundang-undangan dalam bidang kajian Hukum Perburuhan direstrukturisasi dan dibagi ke dalam tiga legislasi utama: Undang- Undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam kaitan dengan kajian hukum perburuhan Indonesia dalam buku ini, maka diputuskan membuat kompromi antara pembagian yang digunakan pada tataran internasional dengan pembagian berdasarkan perundang-undangan Indonesia, sebagai berikut:
a. Hukum Ketenagakerjaan Individual (Individual Employment Law)
b. Hukum Perburuhan Kolektif (Collective Labour Law)
c. Penyelesaian Sengketa Perburuhan/Ketenagakerjaan (Labour Dispute Settlement).


2. Sejarah hukum perburuhan

Hukum Perburuhan ditengarai muncul pertama kali di Eropa sebagai reaksi atas perubahan-perubahan yang dimunculkan Revolusi Industri. Penemuan mesin (tenaga) uap di Inggris sekitar 1750, membuka peluang untuk memproduksi barang/jasa dalam skala besar. Sebelum itu, secara tradisional, pekerjaan di bidang agrikultur diselenggarakan mengikuti sistem feodalistik, pekerja atau buruh mengerjakan tanah milik tuan tanah dan menghidupi diri mereka dari hasil olahan lading yang mereka kerjakan sendiri. Sejak abad pertengahan, di perkotaan, kerja terlokasir di pusat-pusat kerja kecil dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok pekerja dengan keahlian tertentu (gilda) yang memonopoli dan mengatur ragam bidang-bidang pekerjaan tertentu. Sekalipun demikian, kelas wirausaha (entrepreneur) baru yang bermunculan menuntut kebebasan dalam rangka memperluas cakupan dan jangkauan aktivits mereka.
Revolusi Prancis (1795) menjadi simbol tuntutan dari kelompok baru masyarakat modern yang mulai muncul: diproklamirkan keniscayaan persamaan derajat bagi setiap warga Negara dan kebebasan berdagang (bergiat dalam lalulintas perdagangan). Hukum pada tataran. Negara-bangsa dikodifikasikan ke dalam kitab undang - undang yang dilandaskan pada prinsip-prinsip baru seperti kebebasan berkontrak dan kemutlakan hak milik atas kebendaan. Perserikatan kerja yang dianggap merupakan peninggalan asosiasi pekerja ke dalam gilda-gilda dihapuskan.
Napoleon menyebarkan ide baru tentang hukum demikian ke seluruh benua Eropa. Meskipun demikian, selama kurun abad ke-19 tampaknya kebebasan-kebebasan baru tersebut di atas hanya dapat dinikmati sekelompok kecil masyarakat elite yang kemudian muncul. Mayoritas masyarakat pekerja/buruh kasar tidak lagi dapat menikmati cara hidup tradisional mereka (yang dahulu berbasis agrikultur) dan terpaksa mencari penghidupan sebagai buruh pabrik. Kebebasankebebasan di atas (berkenaan dengan kebebasan berkontrak dan hak milik absolut) secara dramatis memaksakan gaya hidup yang sama sekali berbeda pada mayoritas masyarakat pencari kerja (usia produktif).
Mereka terpaksa menerima kondisi kerja yang ditetapkan secara sepihak oleh kelompok kecil majikan penyedia kerja. Kemiskinan memaksa mereka, termasuk keluarga dan anak-anak kecil, bekerja dengan waktu kerja yang sangat panjang. Kondisi kerja yang ada juga mengancam kesehatan mereka semua. Gerakan sosialis yang kemudian muncul, namun juga kritikan dari pemerintah, gereja dan militer, kemudian berhasil mendorong diterimanya legislasi perburuhan yang pertama. Di banyak Negara Eropa, buruh anak dihapuskan. Tidak berapa lama berselang penghapusan ini diikuti oleh kebijakan-kebijakan lain berkenaan dengan jam kerja buruh perempuan di bidang industri. Baru kemudian aturan yang sama muncul untuk buruh laki-laki.
Sekitar tahun 1900-an, beberapa Negara Eropa memodernisasi legislasi mereka perihal kontrak atau perjannjian kerja, yang sebelumnya dilandaskan pada konsep-konsep dari Hukum Romawi. Hugo Sinzheimer, guru besar hukum dari Jerman adalah yang pertama kali mengembangkan konsep kesepakatan kerja bersama dan mendorong legalisasinya. Konsep yang ia kembangkan di Jerman pada era Weimar dicakupkan ke dalam perundang-undangan dan langkah ini menginspirasi banyak Negara lain untuk mengadopsi konsep yang sama. 
Di Eropa kontinen, undang-undang perburuhan dibuat untuk mencakup semua aspek yang berkaitan dengan kerja. Prancis dan Negara-negara Eropa Timur memberlakukan kodifikasi dalam bidang hukum perburuhan. Pada 1990-an, kejatuhan dan kehancuran eksperimen sosialis di Negara-negara Eropa Timur mendorong gerakan liberalisasi. Dalam konteks menanggapi tuntutan globalisasi dikembangkanlah Hukum Perburuhan Eropa. ILO memperbaharui konvensi-konvensi yang ada dan menekankan pentingnya sejumlah hak-hak buruh yang terpenting (core labour rights). perbaikan atau pemajuan standard sosial di Negara-negara tersebut masih berjalan sangat lambat. Sejak 1970-an, Bank Dunia maupun PBB lebih memperhatikan pemajuan hak-hak sosial. ILO mendorong dan mendukung perkembangan sosial di Negara-negara berkembang.

3. Perkembangan terkini dalam pasar tenaga kerja Indonesia

Pasar tenaga kerja Indonesia berubah cepat akhir-akhir ini. Jumlah pekerja yang terlibat dalam proses produksi meningkat pesat karena Indonesia berkembang menjadi negara indutri baru. Mata pencaharian mayoritas masyarakat tidak lagi di lading dalam bidang bpertanian-perternakan namun justru berpindah ke pabrik-pabrik (indutri). Banyak korporasi besar tertarik menanamkan modal mereka di Indonesia karena dua hal yaitu, kekayaan sumberdaya alam dan melimpahnya tenaga kerja murah.

4. Karakteristik (ciri-ciri) hukum perburuhan/ketenagakerjaan

Di kebanyakan Negara di dunia sekarang ini, Hukum Perburuhan diakui sebagai disiplin hukum mandiri. Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan dikarakteristikan oleh sejumlah ciri sebagai berikut:
1. Lebih banyak (aturan) hukum yang bersifat kolektif
Banyak disiplin atau bidang ilmu hukum galibnya hanya mengatur hubungan antara warga masyarakat atau korporasi/organisasi satu sama lain.
2. Mengkompensasikan ketidaksetaraan (perlindungan pihak yang lebih lemah)
Berbeda dengan titik tolak prinsip dasar hukum keperdataan, kesetaraan para pihak, sebaliknya hukum perburuhan beranjak dari pengakuan bahwa buruh dalam realitas relasi ekonomi bukanlah pihak yang berkedudukan setara dengan majikan
3. Pengintegrasian hukum privat dan hukum publik
Hukum perburuhan dapat dipandang sebagai bagian hokum keperdataan maupun hukum publik, atau sebaliknya dianggap sebagai cabang atau disiplin hukum mandiri.
4. Sistem khusus berkenaan dengan penegakan
Penegakan hukum perburuhan memiliki sejumlah ciri khusus. Di banyak Negara dapat kita temukan Inspektorat Perburuhan (a Labour Inspectorate) bertanggung jawab untuk mengawasi implementasi dan penegakan dari bagian-bagian tertentu hukum perburuhan.

5. Tempat atau kedudukan hukum perburuhan dalam sistem hukum

Satu ciri khusus Hukum Perburuhan ialah bahwa cabang ini merupakan percabangan hukum yang sangat fungsional (functional field of law) yang mengkombinasikan semua percabangan hukum lainnya berkenaan dengan tema khusus bekerja di bawah majikan (subordinated labour). Sifat dasar hukum perburuhan ini tidak mudah untuk diklasifikasikan mengikuti pembagian tradisional percabangan sistem hukum.

6. Sumber-sumber hukum dari hukum perburuhan

Dalam hukum perburuhan Indonesia saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah:
• Undang-undang Ketenagakerjaan
• Undang-undang tentang Serikat Pekerja/Buruh dan
• Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 
Ketiga pilar di atas membentuk inti dari hukum perburuhan Indonesia dan menjadi pokok bahasan pengantar ini. Kendati begitu perlu pula dicermati bahwa sumber-sumber hukum lainnya juga harus dirujuk dan berperan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa perburuhan konkrit. Secara umum, sumber-sumber hukum yang terpenting ialah:
• Perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh
pemerintah Republik Indonesia
• Undang-undang Dasar 1945
• Perundang-undangan untuk hal-hal khusus
• Peraturan dan Keputusan Menteri
• Kesepakatan kerja bersama
• Preseden (putusan-putusan terdahulu dari pengadilan)
• Perarturan Kerja yang ditetapkan perusahaan
• Perjanjian kerja individual
• Instruksi oleh majikan/pemberi kerja
• Doktrin hokum


Sumber : Bab - Bab tentang hukum perburuhan indonesia, Editor: Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra penerbit : pustaka larasan 

Ketenagakerjaan anak dibawah Umur

Ketenagakerjaan anak dibawah Umur

Riko Budiharto
47113701
              
Perburuhan Anak

    indonesia terkenal karena besarnya angka presentase buruh anak. Suatu laporan yang dipublikasikan oleh “the National Labour Survey” mengungkap data bahwa sekitar 2.749.353 anak dari rentang umur 10-15 tahun dipekerjakan di 33 provinsi yang ada di Indonesia.1 Kebanyakan dari mereka dipekerjakan dalam situasi-kondisi kerja yang menguatirkan. UNICEF, misalnya memperkirakan bahwa kurang lebih 40,000-70,000 anak menjadi korban trafficking atau dipekerjakan di industri seks. Dari populasi itu, sekitar 30 persen adalah anak-anak di bawah umur 18 tahun.  Pemerintah Indonesia mengadopsi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk (National Action Plan on the Eradication of the Worst Forms of Labour). Kerangka kebijakan rencana aksi tersebut tidak saja mencerminkan semangat Konvensi ILO182/1999 on the Elimination of Worst Forms of Child Labour (penghapusan bentukbentuk pekerjaan anak terburuk), namun juga ambisi yang termuat dalam Konvensi ILO 138/1973 on the Minimum Age for Admission to Employment (umur minimum untuk dapat dipekerjakan). Kedua kovenan di atas merupakan instrumen utama dari ILO yang secara khusus ditujukan pada buruh anak. Meski demikian, ditengarai adanya kontradiksi antara kedua kovenan tersebut. Konvensi tentang Bentuk - bentuk Pekerjaan Terburuk ditujukan untuk menyelamatkan anak dari eksploitasi dan pekerjaan tidak manusiawi, sebaliknya Konvensi Umur Minimum pada prinsipnya menentang semua bentuk pekerjaan.
            Hal ini mengimplikasikan bahwa kovenan ini bermaksud untuk secara total mengeluarkan anak dari tempat kerja, terlepas dari bentuk atau jenis pekerjaan apapun atau apakah pekerjaan tersebut merupakan kerja bentuk terburuk, di dalam sektor industri, atau termasuk pekerjaan yang tidak berbahaya sama sekali. Kebijakan penghapusan total ini banyak dikecam karena tidak membedakan antara ragam bentuk pekerjaan anak dan sebab itu justru dapat merugikan kepentingan anak lebih dari yang diperlukan. Kebanyakan anak yang bekerja melakukan kegiatan yang tidak ekstrim, seringkali dalam lingkungan kegiatan usaha tani atau peternakan keluarga atau usaha bersama lainnya dan hilangnya kesempatan kerja demikian dapat mengakibatkan pemiskinan keluarga mereka sendiri. Mereka bekerja untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, mereka terpaksa bekerja karena mereka miskin. Umumnya mereka tidak dapat menikmati pendidikan,
            terutama karena pendidikan di Indonesia tidak tersedia dan diberikan tanpa biaya. Berkenaan dengan itu juga diajukan argumen bahwa pemerintah setidaknya pertama-tama menjamin tersedianya layanan pendidikan yang baik dan terjangkau serta tersedianya jaminan-jaminan sosial lainnya bagi kaum miskin sedemikian sehingga implementasi kebijakan demikian dapat dicapai tanpa sekaligus mengorbankan kepentingan anak maupun keluarga mereka.


Bentuk pekerjaan terburuk untuk anak menurut pasal 74 ayat 2 UU. No 13/ 2003, meliputi:
1. Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya.
2. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak  untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno atau perjudian.
3. Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan  anak untuk produksi dan perdagangan minuman  keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya dan atau
4. Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.

Efek Negatif Pekerjaan terhadap Perkembangan Anak

Mempekerjakan pekerja anak pada dasarnya merupakan suatu hal yang melanggar hak asasi anak karena pekerjaan pekerja anak selalu berdampak buruk terhadap perkembangan fisik, emosi dan sosial anak.

Contoh Kasus dari perburuhan anak
            CV Langgeng Computer Embriodery, pabrik konveksi milik Budi Halim dan istrinya, Herawati yang terdapat di kelurahan kebon jerul kecamatan Andir Bandung, Jawa Barat ini diketahui telah memperkerjakan anak dibawah umur. Laporan ini didapat dari Dewi, seorang anak yang menjadi korban pekerja dibawah umur. Polisi berhasil menggerebek kediaman Budi dan Herawati dan menemukan 12 anak yang berusia 12 sampai 17 tahun. Menurut Dede (salah seorang korban) mengatakan bahwa mereka harus bekerja dari jam 07.00 sampai jam 19.00 WIB. Selama 12 jam bekerja mereka hanya diberi waktu setengah jam untuk istirahat, parahnya mereka tidak diperbolehkan ke luar atau beranjak dari tempat kerja hanya jongkok atau berdiri.
Tersangka kemudian diganjar Pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang Perampasan Kebebasan Seseorang.
Dalam Undang-undang Perburuhan No. 20 Tahun 1999, disebutkan bahwa usia minimum anak tidak diperbolehkan bekerja di Indonesia adalah 15 tahun. Maka hal ini jelaslah telah melanggar ketentuan undang-undang. Kasus ini hanyalah segelintir dari sekian banyak kasus pekerja anak dibawah umur yang ada. Kenyataanya masih banyak kita jumpai kasus-kasus serupa.
Pabrik Nugget mempekerjakan anak di bawah umur
            Sejumlah pekerja pabrik pembuatan nugget saat diamankan petugas kepolisian di polsek Tanjung Duren, (28/6). Sebanyak 20 pekerja diamankan petugas dan 4 diantaranya adalah pekerja dibawah umur dengan upah perbulan Rp 450 ribu hingga Rp 750 ribu.

Undang - undang tenaga kerja untuk perlindungan anak dibawah umur:
                Pasal 68 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Ketentuan Pasal 1 Undang-undang ini mendefinisikan anak sebagai semua orang di bawah usia 18 (delapanbelas) tahun. Meski demikian, dari ketentuan lainnya dapat disimpulkan bahwa factual hendak dilarang total mempekerjakan anak di bawah usia 15 (limabelas) tahun. Ketentuan Pasal 69 UUK menetapkan bahwa:
 1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
·         izin tertulis dari orang tua atau wali;
·         perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
·         waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
·         dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu
·         sekolah;
·         keselamatan dan kesehatan kerja;

Pasal 72
Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.

Pasal 73
Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Pasal 74
1. Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
2. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
·         segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
·         segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
·         segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
·         semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
3. Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana di-maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 75
1. Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
2. Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kesimpulan

Dalam upaya-upaya pengembangan bakat sebagaimana dijelaskan dalam UU diatas merupakan bentuk persiapan mental anak-anak agar tidak kaget dalam menempuh dunia kerja kedepannya. Yang perlu dipahami bahwa semua yang dapat dilakukan dalam konteks pengembangan diri mereka. Dan sebagian para orang tua beranggapan bahwa memberikan pekerjaan kepada anak-anak mereka merupakan proses belajar, belajar untuk menghargai pekerjaaan dan belajar untuk bertanggung jawab, mereka juga berharap anak-anak mereka dapat membantu meringankan beban mereka selaku orang tua. Selama masih dalam kondisi wajar dan sesuai dengan ketentuan UU kita hal tersebut sah-sah saja. Namun sebagian orang tua memberi pekerjaan yang diluar kemampuannya dan menghilangkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengembangkan diri. Keadaan seperti ini terkadang memberikan dampak yang cukup signifikan pada perkembangan psikologis anak dan mental yang dibangun. Tidak banyak keadaan seperti ini membuat anak menjadi brutal, terbelakang mental, krisis moral.

Disadari ataupun tidak terdapat banyak ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak yang telah dilanggar oleh para pelaku, baik orang tua anak dan pengusaha yang telah mempekerjakan anak dibawah umur


sumber : Muhammad Joni, “Hak-hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak Dan Konvensi PBB Tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum 
Guus Heerma van Voss dan Surya Tjandra penerbit pustaka larasan.