1. Muhammad Asmui – Javapuccino
Sebelum menjadi pengusaha muda
sukses yang mengelola lebih dari 350 mitra melalui Javapuccino, Muhhamad Asmui
pernah menjadi guru privat sambil berjualan pulsa serta kerupuk. Dia pun masuk
ke bisnis kuliner. Usaha kuliner pertamanya itu pun hanya bertahan tiga bulan.
Tapi dia tak berputus asa.
Asmui kecil terbiasa
berjualan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Maklum, ia hanyalah seorang
anak petani yang hanya mampu memberinya makan dan sekolah. Sejak berusia
sembilan tahun, Asmui sudah membuat batu bata yang dia jual ke tukang bangunan
di Salatiga untuk membantu kehidupan orang tuanya.
Meski termasuk anak
yang beruntung karena dapat mencicip bangku pendidikan hingga kuliah berkat
bantuan orang tua asuh, Asmui terus berpikir memiliki usaha sendiri. “Niat itu
muncul ketika saya tengah kuliah di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri)
di Salatiga,” kenang Asmi, panggilan karib Asmui.
Saat itu, Asmi yang
tengah menempuh pendidikan menjadi seorang guru berpikir jauh ke depan.
Kehidupannya tidak akan maju jika hanya mengandalkan upah mengajar. Makanya, ia
tertarik mempelajari ilmu ekonomi dan bisnis. “Harapan suatu saat menjadi
seorang pebisnis,” ujarnya.
Meski kuliahnya masih di tengah jalan, Asmi ijrah ke Jakarta demi mengejar ilmu ekonomi di UIN pada tahun 2005. Langkah ini sempat ditentang orang tuanya lantaran khawatir soal biaya hidup yang tinggi di Jakarta.
Meski kuliahnya masih di tengah jalan, Asmi ijrah ke Jakarta demi mengejar ilmu ekonomi di UIN pada tahun 2005. Langkah ini sempat ditentang orang tuanya lantaran khawatir soal biaya hidup yang tinggi di Jakarta.
Asmi tetap nekat pindah
ke Ibu Kota dan menghidupi dirinya sendiri. Sembari kuliah, ia berjualan pulsa
dan memberikan les ke siswa sekolah di kawasan Bintaro, Pondok Indah, dan
Ciputat.
Asmi bertekad tak hanya
memperoleh gelar sarjana tapi juga sukses membangun usaha. Maka, di tahun 2006,
Asmi berjualan kerupuk ke warung makan.
Agar banyak warung
makan mau menjual kerupuk bikinannya, ia terlebih dulu makan di warung-warung
tersebut sepulang mengajar. “Saya makan dulu, baru menawarkan kerupuk,” ujar
pemuda yang baru lulus UIN tahun 2010 ini.
Strategi itu terbilang
ampuh. Setiap dua hari sekali, ia memasok kerupuk ke 100 warung yang beroperasi
di sepanjang jalan Ciputat hingga Blok M. Uang yang dia dapat dari hasil
mengajar dan berjualan kerupuk menjadi modal mendirikan usaha lain di bidang
kuliner.
Setelah dua tahun
berbisnis kerupuk, Asmi membangun usaha kuliner. Pilihannya jatuh pada usaha
minuman teh lantaran marginnya yang besar.
Modal pertama yang ia
keluarkan Rp 3 juta untuk membuat gerobak, sewa tempat, dan membeli bahan baku.
Ia dibantu adik dan kakaknya meracik teh dan melayani pembeli di kampusnya, UIN
Ciputat. “Pertama kali buka, animonya tinggi karena terbantu situasi kampus
yang ramai,” ujarnya.
Namun, nyatanya usaha
tersebut hanya bertahan tiga bulan lantaran terganjal brand yang
Asmui pakai, yakni Joss Tea. “Sudah ada yang punya, jadi usaha ini kami tutup,”
ujarnya.
Belajar dari kegagalan
itu, Asmi membangun kembali usaha kulinernya. Di tahun yang sama, ia
meluncurkan produk minuman kopi blanded yang saat itu tengah menjadi
tren. Asmi langsung mendaftarkan mempatenkannya nama produknya, Javapuccino.
Ia yakin, langkah ini
adalah awal yang benar yakni mendesain dan mematenkan produk agar bisa
memenangkan persaingan. “Langkah selanjutnya baru promosi,” ujar Asmi yang
mempromosikan Javapuccinonya pertama kali di internet.
Urusan paten kelar,
Asmi kemudian fokus pada kualitas rasa produk es kopi blandednya. Seorang diri,
ia terjun meracik kopinya. Agar menemukan racikan yang pas, Asmi sempat belajar
kepada barista. Kini, lebih dari 30 rasa minuman telah tercipta dari dapur Javapuccino,
termasuk kopi, teh dan yogurt aneka rasa.
Asmi mengaku telah
menemukan citra rasa produknya, yakni menonjolkan kopi bercita rasa lokal
dengan aneka topping. Ia juga terus berinovasi demi memenangkan persaingan
serta wujud pelayanan bagi pelanggannya.
Kerja keras, mau
belajar dan tak pantang menyerah telah mengantarkan anak petani ini sukses
dalam berwirausaha. Melalui jaringan Javapuccino, di sepanjang tahun 2010 Asmi
meraup keuntungan bersih Rp 946 juta. Keuntungan ini meningkat pesat dibanding
tahun 2009 yang cuma Rp 105 juta per tahun.
2.
Riezka Rahmatiana dengan JustMine-nya
Wanita
muda satu ini adalah pendiri dari JustMine, sebuah waralaba yang menjual Pisang
Ijo dari Makasar. Riezka yang lahir pada 26 Maret 1986 ini ternyata berasal
dari Mataram, Nusa Tenggara Barat. Berangkat dari kecintaannya dengan makanan
khas Makasar tersebut, Riezka mendirikan waralaba dengan brand JustMine, yang
diilhami dari kata jasmine yang berarti bunga melati.
Bedanya
Pisang Ijo yang ada di JustMine dengan yang lainnya adalah varian menu yang
begitu beragam. Kini Riezka mampu menghabiskan 500 porsi Pisang Ijo setiap
harinya dari satu outlet. Sebelum sukses menjadi pengusaha Pisang Ijo, Rieska
pernah menggeluti usaha MLM, penjual pulsa dan juga bekerja di café. Tapi
berbekal kemauan yang kuat dia mampu menjadi pengusaha muda yang dikenal banyak
orang.
Kesuksesan wirausahanya ini membuatnya meraih
berbagai penghargaan seperti
- The Young Entrepreneur Award,
- Top 15 Franchises Best Choice,
- Ernst & Young Entrepreneurial Wining Women 2012,
Riezka mengungkapkan untuk mendapatkan kesuksesan, Anda tidak boleh egois saat mewujudkan impian Anda.
"Setiap orang punya impian untuk punya usaha dan sukses. Namun ketika hanya memikirkan kesenangan dan ambisi pribadi, usaha Anda bisa saja hancur dan putus asa. Anda membangun usaha dengan impian untuk membahagiakan keluarga, sehingga ketika gagal Anda akan terus termotivasi untuk bangkit dan sukses," tambahnya.
- The Young Entrepreneur Award,
- Top 15 Franchises Best Choice,
- Ernst & Young Entrepreneurial Wining Women 2012,
Riezka mengungkapkan untuk mendapatkan kesuksesan, Anda tidak boleh egois saat mewujudkan impian Anda.
"Setiap orang punya impian untuk punya usaha dan sukses. Namun ketika hanya memikirkan kesenangan dan ambisi pribadi, usaha Anda bisa saja hancur dan putus asa. Anda membangun usaha dengan impian untuk membahagiakan keluarga, sehingga ketika gagal Anda akan terus termotivasi untuk bangkit dan sukses," tambahnya.
3. Elang Gumilang – Mahasiswa Pengembang
Rumah Murah
Elang Gumilang yang lahir tanggal 6 April 1985 adalah
lulusan Institut Pertanian Bogor yang sekarang menjabat sebagai direktur utama
sebuah perusahaan developer perumahan. Perusahaan tersebut
menghasilkan prestasi yang mencengangkan dengan berhasil membangun lebih dari
seribu rumah di Kabupaten Bogor.
Dengan
modal awal sekitar 300 juta rupiah, kininilai proyek Elang Group mencapai 17
milyar. Elang juga telah memenangkan beberapa penghargaan, di antaranya adalah
Wirausaha Muda Mandiri Terbaik pada tahun 2007 hingga Indonesia Top Young
Entrepreneur pada tahun 2008 dari Warta Ekonomi.
4. Febrianti
Almeera
Ada pepatahah Jepang
yang mengatakan terjatuh tujuh kali dan bangkit delapan kali. Nilai yang
terkandung dari pepatah ini adalah selalu ada kesempatan untuk bangkit, berapa
kali pun kita terjatuh.
Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Febrianti, pemilik Amleera Yoghurt. Bangkrut pada saat pertama memulai usaha, namun tak membuatnya surut. Dan tekad pantang menyerahnya itu yang membuatnya kemudian meraih sukses.
Febrianti atau yang biasa dipanggil Pepew ini memulai usaha pada Maret 2010. Ia benar-benar nekat dalam memulai usaha waktu itu. Memulai usaha pada usia 19 tahun dengan modal usaha hasil utang Rp 24 juta, jumlahnya tak tanggung-tanggung untuk seorang mahasiswi.
Bukan hanya usia muda dan utang yang cukup besar saja yang membuat Pepew terlihat nekat, ia juga berani meminjam uang hingga ke kepala jurusannya. Benar-benar nekat.
"Saya juga bingung waktu itu tidak malu sama sekali untuk utang. Padahal kalau sekarang bayangin, kayaknya malu banget kalau harus melakukan lagi," kenang Pepew seperti dikutip dari myoyeah.com, Kamis (7/11/2013)
Kondisi seperti ini juga pernah dialami oleh Febrianti, pemilik Amleera Yoghurt. Bangkrut pada saat pertama memulai usaha, namun tak membuatnya surut. Dan tekad pantang menyerahnya itu yang membuatnya kemudian meraih sukses.
Febrianti atau yang biasa dipanggil Pepew ini memulai usaha pada Maret 2010. Ia benar-benar nekat dalam memulai usaha waktu itu. Memulai usaha pada usia 19 tahun dengan modal usaha hasil utang Rp 24 juta, jumlahnya tak tanggung-tanggung untuk seorang mahasiswi.
Bukan hanya usia muda dan utang yang cukup besar saja yang membuat Pepew terlihat nekat, ia juga berani meminjam uang hingga ke kepala jurusannya. Benar-benar nekat.
"Saya juga bingung waktu itu tidak malu sama sekali untuk utang. Padahal kalau sekarang bayangin, kayaknya malu banget kalau harus melakukan lagi," kenang Pepew seperti dikutip dari myoyeah.com, Kamis (7/11/2013)
Kenekatannya tersebut ternyata dianggap brilian oleh
civitas akademik di Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Pendidikan Bandung (UPI) dan ia dinobatkan sebagai ikon Young Womanpreneur di
kampusnya. Hal tersebut membuatnya bangga dan semakin bersemangat untuk
menjalankan usaha. Sayang kebanggaan tersebut hanya seumur jagung, tidak lebih
dari dua bulan.
Setelah dua bulan menjalankan usaha, hasilnya tak semanis gelar Womanpreneur yang disandangnya. Tak ada keuntungan berlimpah yang masuk ke kantongnya. Yang datang justru tagihan-tagihan dari para kreditor yang meminta hak mereka untuk dikembalikan.
Sementara uang modal tinggal Rp 1 juta. Lunglai rasanya seluruh badan dan tulang seperti dilolosi. Dengan berat ia menutup tokonya yang hanya bertahan selama dua bulan.
“Rasanya malu sekali waktu itu. Untuk menutup usaha tersebut saya benar-benar hampir tak punya muka. Bagaimana saya yang dijadikan ikon entrepreneur muda menjalankan usaha dua bulan saja sudah tutup. Apalagi untuk ke kampus bertemu dengan teman-teman, berat sekali rasanya,” kenang Pepew.
Setelah dua bulan menjalankan usaha, hasilnya tak semanis gelar Womanpreneur yang disandangnya. Tak ada keuntungan berlimpah yang masuk ke kantongnya. Yang datang justru tagihan-tagihan dari para kreditor yang meminta hak mereka untuk dikembalikan.
Sementara uang modal tinggal Rp 1 juta. Lunglai rasanya seluruh badan dan tulang seperti dilolosi. Dengan berat ia menutup tokonya yang hanya bertahan selama dua bulan.
“Rasanya malu sekali waktu itu. Untuk menutup usaha tersebut saya benar-benar hampir tak punya muka. Bagaimana saya yang dijadikan ikon entrepreneur muda menjalankan usaha dua bulan saja sudah tutup. Apalagi untuk ke kampus bertemu dengan teman-teman, berat sekali rasanya,” kenang Pepew.
Bermodal sisa uang Rp 1 juta, ia pun memulai
usahanya dengan cara yang menurutnya tak kalah memalukan. Ia membuka gerai
yoghurt lagi dengan sebuah meja kecil di pinggir jalan di dekat rumahnya. Kali
ini tanpa ada karyawan yang membantu seperti ketika membuka toko di Jalan
Trunojoyo. Ia membuka “toko” pinggir jalannya pada Agustus 2010 di bulan
Ramadhan, 2 bulan setelah tokonya tutup.
Niat baiknya untuk melunasi kewajibannya ternyata berbuah manis. Di akhir bulan ketika menghitung omzet warung pinggir jalannya, ternyata hasilnya cukup mengagetkan.
Ia mendapatkan omzet Rp 10 juta hanya dengan bermodal meja 1×1 meter dan berjualan di pinggir jalan. Hasil ini membuat Pepew bersemangat lagi. Rasa malu yang sempat menghiasi wajahnya langsung ia tanggalkan dan melanjutkan usaha ini dengan percaya diri.
Dari omzet Rp 10 juta tersebut ia mulai mencicil utangnya. Dan “toko” pinggir jalannya tersebut ternyata cukup ampuh. Dalam waktu tiga bulan omsetnya terus menanjak dan dia sudah bisa membuka gerai lagi di kampusnya. Warung pinggir jalan Pepew sedikit demi sedikit mulai mengangkat dagunya.
Ia tak harus tertunduk lesu dan malu ketika ke kampus. Yang paling membuat bangga tentu saja sedikit demi sedikit ia berhasil melunasi utangnya dan semua bisa diberesi setelah enam bulan.
Toko meja pinggir jalan menjadi titik balik bagi Pepew. Sekarang dia sudah memiliki kedai di Jalan Cihaurgeulis No .4 Bandung. Selain itu ada dua gerai lagi di Bandung dan masing-masing satu di Jakarta dan Cirebon.
Setelah merasakan pahitnya terjerembab dalam kegagalan dan manisnya keberhasilan, Pepew sekarang ini punya mimpi untuk membuka pusat jajalan yoghurt dengan konsep bar.
Jatuh bangunnya Pepew telah membuktikan bahwa ia memang tepat memilih nama brand Almeera yang artinya cewek yang tangguh. Ketangguhan Pepew sekarang ini telah berbuah manis.
“Saya sadar sekarang bahwa yang bisa membuat saya bangkit itu bukan orang lain, tapi diri kita sendiri,” tutup Pepew.
Niat baiknya untuk melunasi kewajibannya ternyata berbuah manis. Di akhir bulan ketika menghitung omzet warung pinggir jalannya, ternyata hasilnya cukup mengagetkan.
Ia mendapatkan omzet Rp 10 juta hanya dengan bermodal meja 1×1 meter dan berjualan di pinggir jalan. Hasil ini membuat Pepew bersemangat lagi. Rasa malu yang sempat menghiasi wajahnya langsung ia tanggalkan dan melanjutkan usaha ini dengan percaya diri.
Dari omzet Rp 10 juta tersebut ia mulai mencicil utangnya. Dan “toko” pinggir jalannya tersebut ternyata cukup ampuh. Dalam waktu tiga bulan omsetnya terus menanjak dan dia sudah bisa membuka gerai lagi di kampusnya. Warung pinggir jalan Pepew sedikit demi sedikit mulai mengangkat dagunya.
Ia tak harus tertunduk lesu dan malu ketika ke kampus. Yang paling membuat bangga tentu saja sedikit demi sedikit ia berhasil melunasi utangnya dan semua bisa diberesi setelah enam bulan.
Toko meja pinggir jalan menjadi titik balik bagi Pepew. Sekarang dia sudah memiliki kedai di Jalan Cihaurgeulis No .4 Bandung. Selain itu ada dua gerai lagi di Bandung dan masing-masing satu di Jakarta dan Cirebon.
Setelah merasakan pahitnya terjerembab dalam kegagalan dan manisnya keberhasilan, Pepew sekarang ini punya mimpi untuk membuka pusat jajalan yoghurt dengan konsep bar.
Jatuh bangunnya Pepew telah membuktikan bahwa ia memang tepat memilih nama brand Almeera yang artinya cewek yang tangguh. Ketangguhan Pepew sekarang ini telah berbuah manis.
“Saya sadar sekarang bahwa yang bisa membuat saya bangkit itu bukan orang lain, tapi diri kita sendiri,” tutup Pepew.
5.
Ibu Murniati dengan Es Teller 77
Warung sederhana dengan
nama Es Teller 77 ini didirikan pada tahun 1987 oleh ibu Munriati yang dibantu
oleh suaminya Trisno Budijanto serta anak dan menantunya, Yeni Setiawan Widjaja
dan Sukyanti Nugroho. Menu makanan yang disajikan di warung ini adalah makanan
asli Indonesia. Setelah merasa sukses dengan hasil dari satu warung, ibu
Murniati mencoba membuka peluang usaha ini menjadi waralaba. Keputusan ini ternyata
membuahkan hasil karena warung itu mulai tersebar di seluruh wilayah nusantara.
Setelah merasa puas di negeri sendiri, warung Es
Teller 77 mencoba mengenalkan bisnis kuliner asli Indonesia ini ke
beberapa negara tetangga. Makanan Indonesia yang memiliki rasa khas, ternyata
mampu menarik minat warga negara lain sehingga kini Es Teller 77 kini sudah
berdiri di New Delhi, Melbourne Australia, Malaysia, dan Singapura.